Lazy Songs

Free Music Online
Free Music Online

free music at divine-music.info

Thursday, 28 February 2013

Linggar Jati

Desa Linggarjati merupakan sebuah Desa kecil yang berada di salah satu wilayah Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Praktis desa kecil ini dikenal oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia dan dunia, pada saat dilaksanakannya Perjanjian Linggarjati, pada tanggal 10-13 November 1946. Perjanjian ini dianggap sebagai  perjanjian yang sangat penting, karena berhubungan erat dengan eksistensi Pemerintah Indonesia dimata dunia pada waktu itu, baik secara De Facto dan De Jure dipertaruhkan.







[navigasi.net] Tempat Bersejarah - Gedung Linggarjati


Ibarat sungai, Linggarjati merupakan salah satu mata air yang mengaliri sungai tersebut, sehingga air mengalir terus sampai ke hilir dan akhirnya bermuara di laut membentuk lautan yang luas dengan segala kekayaaan alamnya. Begitupun dengan Linggarjati, merupakan bagian yang sangat penting dari perjalanan sejarah Bangsa Indonesia, sehingga sampai sekarang bisa menjadi bangsa yang merdeka dan berdaulat. Diantara isi pokok persetujuan Linggarjati adalah : (1) Belanda mengakui secara De Facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatra, Jawa, dan Madura; (2) Republik Indonesia dan Belanda akan bekerjasama dalam membentuk negara Indonesia Serikat, yang salah satu negara bagiannya adalah Republik Indonesia;(3) Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia - Belanda dengan Ratu Belanda selaku ketuanya.
Peristiwa yang berlangsung 59 tahun silam tersebut, masih dapat kita saksikan melalui peninggalan-peninggalan yang ada di Gedung Linggarjati, sekaligus dijadikan sebagai salah satu bangunan cagar budaya oleh Pemerintah sesuai dengan UU.No.5 tahun 1992. Desa Linggarjati sendiri berada di wilayah Blok Wage, Dusun Tiga, Kampung Cipaku, kecamatan Cilimus Kabupaten Kuningan Jawa Barat. Desa ini terletak pada ketinggian 400 meter di atas permukaan air laut, dimana sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Sebelah selatan desa ini berbatasan dengan Desa Linggasana, sebelah timur berbatasan dengan Desa Linggamekar, sebelah utara berbatasan dengan Desa Lingga Indah dan sebelah barat berbatasan dengan Gunung Ciremai. Untuk mencapai lokasi ini tidaklah terlalu sulit, karena akses jalan aspal yang mulus, sehingga mudah sekali dijangkau dengan kendaraan pribadi maupun kendaraan umum. Dari arah Cirebon kurang lebih 25 km sedangkan dari arah Kuningan kurang lebih 17 km.
Hawa sejuk dan damai akan kita rasakan ketika mulai memasuki pelataran Gedung Linggarjati. Bangunan kuno dan megah yang dikelilingi oleh taman yang asri, dengan suasana yang tidak terlalu ramai, semakin menambah penghayatan suasana Linggarjati. Luas komplek Linggarjati kurang lebih 2,4 hektare, dimana sepertiga dari luas tersebut merupakan bangunan gedung yang dipergunakan untuk perundingan. Bangunan ini sendiri tadinya dibangun oleh warga negara Belanda, sebagai tempat peristirahatan, yang kemudian dipilih sebagai tempat perundingan dan akhirnya diserahkan kepada Pemerintah Indonesia sebagai salah satu bangunan cagar budaya Pemerintah Indonesia. Walaupun berupa bangunan lama, tapi secara keseluruhan kebersihan gedung ini nampak terjaga sekali. Ada 14 orang yang membantu merawat gedung ini, diantaranya 7 orang merupakan PNS ( Pegawai Negeri Sipil ), dan sisanya adalah pegawai honorer.







[navigasi.net] Tempat Bersejarah - Gedung Linggarjati


Bangunan ini terdiri dari beberapa ruang, yaitu ruang tamu, ruang tengah, kamar tidur, kamar mandi dan ruang belakang. Ruang tamu dipergunakan sebagai ruang untuk melakukan lobi dan meeting informal. ruang tengah merupakan ruang utama, dimana perjanjian Linggarjati dilaksanakan. Ternyata posisi kursi yang diduduki oleh para anggota perundingan masih sama seperti dulu waktu perundingan dilangsungkan. diantara para peserta perundingan tersebut adalah, delegasi Indonesia terdiri dari : 1.Sutan Sjahrir;2.Mr.Soesanto Tirtoprodjo;3.Dr.A.K.Gani;4.Mr.Muhammad Roem;. delegasi Belanda terdiri dari:1.Prof.Ir. Schermerhorn ; 2.Mr.Van Poll ; 3.Dr.F.DeBoer ; 4.Dr.Van Mook. Dan sebagai notulensi adalah; 1.Dr.J.Leimena;2.Dr.Soedarsono;3.Mr.Amir Sjarifuddin;3.Mr.Ali Budiardjo. Kamar-kamar tidur yang bersebelahan dengan ruang perundingan merupakan tempat tidur yang dipergunakan oleh delegasi Indonesia dan Belanda selama mengikuti jalannya perundingan.
Hari-hari biasa tempat ini biasanya sepi pengunjung, paling-paling kalau ada kunjungan biasanya kunjungan nostalgia dari para wisman Belanda yang ingin. Baru pada hari libur, tempat ini ramai dikunjungi oleh pengunjung yang hampir sebagian besar adalah anak-anak sekolah, yang tidak hanya berasal dari daerah sekitar, namun juga berasal dari seluruh wilayah Indonesia. Biaya operasional tempat ini, selain diberi subsidi oleh Pemerintah, juga sedikit terbantu oleh kehadiran pengunjung. Pengunjung yang datang diharapkan bisa mengisi uang kas dengan jumlah seikhlasnya, kemudian uang tersebut digunakan untuk membantu biaya perawatan gedung. Menurut Pak Judi, salah satu petugas museum mengatakan,"Peranan pemerintah untuk menjaga kelestarian gedung ini sangat diharapkan, terutama dalam hal pendanaan,". Selama ini banyak sekali para Pejabat Pemerintah yang memberikan sumbang saran, namun lebih dari itu adalah bukti konkret berupa pendanaan untuk terus menjaga kelestarian Gedung Linggarjati.
Tidak jauh dari Museum Linggarjati, tersedia juga obyek wisata alam sebagai pelengkap wisata Museum Linggarjati. Tempat tersebut terdiri dari taman-taman dengan pohon-pohon yang rindang dan dilengkapi dengan berbagai fasilitas yang lain. Seperti kolam renang, kemudian danau buatan-dimana kita bisa melintasi danau tersebut dengan perahu karet dan tersedia juga pondok-pondok penginapan bagi pengunjung yang ingin menginap ditempat tersebut. Sayangnya, pengelolaan tempat tersebut kurang diperhatikan, sehingga terlihat agak kotor, banyak sampah yang berserakan dan pengaturan taman-taman yang kurang rapi, sehingga banyak rumput yang tumbuh disana-sini. Untuk menjaring pengunjung yang lebih banyak, pemda setempat harus lebih peduli, baik dalam hal pengelolaan maupun dalam hal promosi. Karena lokasi yang mudah dijangkau, serta udara yang cukup sejuk, wisata ini kalau dikelola secara profesional tentu kedepan akan semakin menarik banyak wisatawan.

Legenda telaga remis

Legenda “Telaga Remis”
Konon, zaman dahulu kala. Di desa Pajaten, ada sepasang kekasih yang saling mencintai, yaitu Nyimas Sari dan Joko Laga. Mereka begitu saling menyayangi, dan mereka pun berjanji akan selalu bersama.
Nyimas Sari adalah putri saudagar kaya yang sombong di desa Pajaten. Sedangkan Prabu Laga hanyalah seoarng anak yatim piatu dari desa dari keluarga yang miskin. Walau begitu, mereka tidak menghiraukan perbedaan derajat antara keduanya. Mereka tetap saling mencintai.
Namun, ditengah-tengah kebahagiaan mereka berdua. Kedua orang tua nyimas Sari tidak menginginkan kalau nyimas Sari berhubungan dengan seorang miskin. Kedua Orang tua nyimas Sari begitu menyayangi Sari, mereka menginginkan agar suatu saat nyimas Sari bisa menikah dengan seorang kaya, agar hidupnya bahagia.
Nyimas Sari dan Joko Laga mencoba untuk menyembunyikan hubungan keduanya kepada Orang tua nyimas Sari. Namun, lambat laun hubungan keduanya pun akhirnya diketahui oleh orang tua Sari. Orang tuanya pun begitu marah kepada Sari. “Sari!! Tidakkah kau tau, kalau kau adalah putri saudagar paling kaya di desa ini?! Mengapa kau berhubungan dengan orang miskin” Kedua orang tua Sari memarahi Sari. “Ampun, Ayah.. Ibu.. tapi kami berdua saling mencintai dan kami tidak peduli dengan perbedaan drajat antara kami” ujar Sari. “Tapi mengapa harus dengan orang miskin?!” kata Ibu Sari sambil marah. “Kalu begitu, lebih baik aku nikahkan saja kau dengan seorang yang lebih pantas untukmu” tambah Ayah Sari. “Aku tidak mau!!!” jawab Sari membantah. “Kalau kau tetap membantah, jangan harap kau bisa bahagia dengan lelaki yang kau pilih itu” ancam Ibu Sari.
Suatu hari Nyimas Sari dan Joko Laga bermaksud untuk pergi meninggalkan desa, agar mereka bisa hidup bahagia tanpa ada yang melarang.
Kedua orang tua nyimas Sari pun mengetahuinya, kalau anaknya telah pergi bersama Joko Laga meninggalkan desa. Dengan jengkelnya, akhirnya kedua Orang tua nyimas Sari mengutuk nyimas Sari dan Joko Laga menjadi seekor ‘remis’. “Kurang ajar! Mereka tetap saja nekat, hati mereka memang keras sekeras remis’ memang sepantasnya mereka mereka menjadi seekor Remis !!” tanpa sadar mereka telah mengutuk anaknya dan Joko Laga menjadi seekor remis.
Pada suatu hari, ditengah hutan. Nyimas Sari merasa sangat kehausan, namun ditengah hutan itu tidak setetes air pun ditemukan. Lalu, Joko Laga bermaksud untuk menggali tanah dan berharap menemuakn air. Lama-lama lubang semakin dalam, air pun keluar dari dalam tanah.
Joko Laga pun terkejut. “Hah! Banyak sekali air yang keluar”. Lalu mereka berdua pun meminum air itu.
Namun, mereka terheran, “Mengapa air ini tidak berhenti, bahkan tambah banyak” ujar mereka.
Saat itu, mendadak langit menjadi mendung. Petir pun menyambar dengan menyeramkan. Mungkin kutukan itu telah datang kepada mereka berdua.
Akhirnya, mereka berdua pun berubah menjadi seekor Remis. Dan air yang keluar dari tanah itu pun semakin banyak dan meluas, hingga membentuk sebuah Telaga. Dan akhirnya telaga itu pun disebut dengan “Telaga Remis.
 
 

Gedung Bank Indonesia Cabang Cirebon

Gedung Bank Indonesia Cabang Cirebon

Kagumilah keindahan arsitektur Bank Indonesia cabang Cirebon dalam gaya klasik dan balutan warna putihnya. Gedung tiga lantai ini berdiri di atas lahan seluas ± 1.961 m2. Fungsinya semula adalah  Agenschap De Cheribon  dan dibuka tanggal 31 Juli 1866 sebagai kantor cabang ke- 5 De Javasche Bank. Direnovasi dari hanya satu lantai menjadi tiga lantai, akhirnya pada tanggal 21 September 1919 gedung ini dirancang oleh arsitek F.D. Ciypers & Hulswit dengan gaya art deco. Eks Gedung De Javasche Bank Cabang Cirebon merupakan satu-satunya yang memiliki satu kubah sebagai tanda keunikannya.  De Javasche Bank hingga sekarang sudah beberapa kali berganti nama; pada masa pemerintahan Jepang menjadi Hanpo Kaihatsu Ginko, kemudian Bank Indonesia. Dari tahun 1866 sampai dengan 1953 selalu dipegang oleh bangsa Belanda kecuali pada masa Jepang. Sejak tahun 1954 pimpinan kantor cabang dipegang oleh bangsa Indonesia.
Lokasi:  Jalan Yos Sudarso, Kampung Cangkol, Desa Lemahwungkuk, Kecamatan Lemahwungku

Keraton Kacirebonan

Keraton Kacirebonan Cirebon

Keraton Kacirebonan merupakan keraton yang paling kecil diantara keraton lain yang sempat kami kunjungi di Kota Cirebon. Kami datang ke Keraton Kacirebonan setelah meninggalkan Masjid Agung Sang Cipta Rasa Keraton Kasepuhan, masih dengan menumpang becak yang sama. Lokasi Keraton Kacirebonan ini berada di Jl. Pulasaren, Kelurahan Pulasaren, Kecamatan Pekalipan, Kota Cirebon, dengan halaman depan yang cukup luas.
Sebelum masuk ke dalam wilayah keraton yang dipagari tembok tinggi, kami diminta untuk menemui beberapa orang petugas yang berjaga di sebuah bangunan semacam joglo di depan tembok keraton. Setelah menjelaskan maksud kedatangan, dan mendapat sedikit penjelasan tentang keraton dan mengenai tiket masuk yang boleh dibayar belakangan, kami pun masuk ke dalam Keraton Kacirebonan ditemani oleh salah seorang petugas.
Keraton Kacirebonan
Dua buah becak yang ditumpangi oleh masing-masing seorang teman berhenti sejenak di depan gapura pertama Keraton Kacirebonan, serta papan penanda Benda Cagar Budaya di sebelah kanannya yang menyebut tahun 1808 sebagai tahun berdirinya Keraton Kacirebonan.
Keraton Kacirebonan
Sebuah tulisan pada dinding gapura kedua Keraton Kacirebonan yang menyerupai bentuk tulisan dalam huruf Jawa.
Keraton Kacirebonan
Beranda depan Keraton Kacirebonan dengan halaman depan yang cukup luas, yang diteduhi oleh pohon rindang. Meskipun Keraton Kacirebonan ini sederhana saja dan menyerupai rumah biasa, namun bangunan ini menyimpan kisah perjuangan Pangeran Raja Kanoman melawan penjajah kolonial Belanda.
Di Keraton Kacirebon terdapat tradisi tahunan seperti Suraan, Syafaran, Muludan, Rajaban, Rowahan, Tarawehan, Likuran, Tadarusan di bulan Ramadhan, Grebeg Syawal (Idul Fitri) dan Raya Agungan (Idul Adha). Puncaknya adalah acara “Panjang Jimat” yang dilakukan setiap tanggal 12 Rabiul awwal bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi.
Keraton Kacirebonan
Potret Sultan Kacirebonan yang menempel di ruang beranda Keraton Kacirebonan. Sejarah Keraton Kacirebonan dimulai ketika Pangeran Raja Kanoman, pewaris takhta Kesultanan Keraton Kanoman bergabung dengan rakyat Cirebon dalam menolak pajak yang diterapkan Belanda, yang memicu pemberontakan di beberapa tempat.
Pangeran Raja Kanoman kemudian tertangkap oleh Belanda dan dibuang ke benteng Viktoria di Ambon, dilucuti gelarnya, serta dicabut haknya sebagai Sultan Keraton Kanoman. Namun karena perlawanan rakyat Cirebon tidak juga reda, Belanda akhirnya membawa kembali Pangeran Raja Kanoman ke Cirebon dalam upaya mengakhiri pemberontakan. Status kebangsawanan Pangeran Raja Kanoman pun dikembalikan, namun haknya atas Kesultanan Keraton Kanoman tetap dicabut.
Keraton Kacirebonan
Ruang tengah Keraton Kacirebonan yang cukup sempit, yang digunakan untuk menerima tamu-tamu penting yang datang ke Keraton Kacirebonan. Sekembalinya ke Cirebon, pada 1808, Pangeran Raja Kanoman tinggal di kompleks Gua Sunyaragi dan bergelar Sultan Amiril Mukminin Muhammad Khaerudin atau Sultan Carbon, walaupun tidak memiliki keraton.
Sampai wafatnya pada 1814, Sultan Carbon tetap konsisten dengan sikapnya dengan menolak uang pensiun dari Belanda. Kesultanan Carbon kemudian diwakili oleh istri mendiang Sultan Carbon yang bernama Ratu Raja Resminingpuri. Adalah sang Ratu yang kemudian membangun Keraton Kacirebonan, dengan menggunakan uang pensiun yang diberikan oleh Belanda.
Keraton Kacirebonan
Di samping bangunan utama Keraton Kacirebonan terdapat sebuah bangunan kecil yang difungsikan sebagai sebuah museum. Gamelan pada foto di atas adalah salah satu koleksi museum Keraton Kacirebonan ini.
Keraton Kacirebonan
Di sebelah kiri adalah koleksi kain batik tua Keraton Kacirebonan, dengan kotak wayang bercat hijau di sebelah kanan. Museum Keraton Kacirebonan ini tampaknya selalu ditutup dan hanya dibuka ketika ada pengunjung datang dan ingin melihat koleksinya.
Keraton Kacirebonan
Koleksi wayang kulit yang disimpan di dalam kotak kayu yang sepertinya sudah lama tidak digunakan dalam pagelaran.
Keraton Kacirebonan
Sebuah koleksi Keraton Kacirebonan berbentuk semacam wadah dengan ornamen tak beraturan yang diletakkan di sebelah kurungan yang digunakan dalam ritual tedak siti, mudun lemah, atau turun ke tanah untuk bayi yang berusia 7 bulanan. Di dalam kurungan ini ada kursi dan tangga kecil berundak.
Keraton Kacirebonan
Tampak muka bangunan gedung Keraton Kacirebonan. Meskipun tidak banyak yang bisa dilihat di dalam kompleks Keraton Kacirebonan ini, namun yang menarik diantara semua yang ada adalah sejarah berdirinya Keraton Kacirebonan ini yang lahir dari perlawanan Pangeran Raja Kanoman melawan penindasan kolonial Belanda, dan konsistensi perlawanan sang Pangeran sampai akhir hayatnya.

Masjid Agung Sang Cipta Rasa


Masjid yang satu ini tergolong unik, antik, dan bersejarah: dibangun tahun 1500 – lebih dari 500 tahun usianya! Terdapat di Cirebon, Jawa Barat, syahdan masjid ini dibangun oleh warga Cirebon dan Demak di bawah pengawasan Walisanga. Bangunannya dirancang oleh Raden Sepat dari Demak, di bawah pengawasan Sunan Kalijaga.

Berbentuk bujur sangkar, luas masjid itu 625 m2. Bentuk tersebut sengaja dibuat untuk menyesuaikannya dengan konstruksi joglo masjid itu. Sedang nama Sang Cipta Rasa diberikan oleh Sunan Gunung Jati, karena ia menganggap masjid tersebut merupakan upaya pendekatan diri dengan Sang Pencipta, Allah SWT. Itu yang menyebabkan masjid ini benar-benar menggunakan nama Indonesia, bukan nama Arab seperti lazimnya.

Arsitektur masjid ini tampak masih sangat kuat dipengaruhi kultur “Hindu-Jawa”. Yaitu, menggunakan atap tumpang tiga dengan konstruksi joglo. Keseluruhan bangunan terbuat dari kayu jati, karena, saat pembangunannya, jenis kayu kuat itu sangat disukai dan merupakan salah satu bahan bangunan yang banyak sekali digunakan, terutama oleh kaum bangsawan. Kayu jati tersebut diperoleh dari Cirebon sendiri di samping didatangkan dari Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Alkisah, beberapa tahun setelah masjid ini dibangun, atapnya disambar petir. Karena itu atapnya yang semula berpola joglo diganti dengan atap limasan. Perubahan bentuk atap ini dikaitkan dengan paham yang menyatakan bahwa di hadapan Tuhan manusia adalah sama, apakah ia kaya atau miskin, bangsawan atau bukan.

Jika kita memasuki ruang shalat, akan tampak tiga buah ubin di depan mihrab – ubin pertama dari lubang mihrab. Ketiga ubin tersebut masing-masing dibuat oleh Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang, dan Sunan Kalijaga. Begitulah yang diketahui masyarakat Cirebon.

Bangunan masjid ini memang menyimpan sejumlah keunikan. Salah satunya adalah pintu yang terdapat di sana. Di samping pintu yang ada di sebelah kiri dan kanan masjid, terdapat juga delapan pintu lainnya. Orang harus berhati-hati saat masuk atau keluar melalui salah satu pintu tersebut, karena pintu-pintu itu kecil dan sangat rendah, sehingga terkadang orang harus berjongkok untuk melaluinya.

Mungkin, karena tuanya dan sarat menyimpan sejarah, lahirlah cerita dari mulut ke mulut yang tidak masuk akal atau sesuatu yang mistis sifatnya tentang masjid ini. Misalnya, ada orang yang mengatakan, Masjid Agung Sang Cipta Rasa dibangun dalam satu malam, yaitu dimulai setelah waktu isya dan selesai menjelang fajar. Dengan demikian masjid tersebut telah dapat digunakan untuk shalat Subuh.

Ada pula yang percaya, barang siapa melaksanakan shalat Jumat berturut-turut selama 40 kali di Masjid Agung Sang Cipta Rasa, nilai ibadahnya sama dengan ibadah haji ke Tanah Suci Makkah. Lalu, ada pula yang percaya, jika orang melaksanakan shalat Jumat di masjid ini, ia akan bertemu Nabi Khidhir atau Sunan Kalijaga.

Banyak jamaah dari kalangan wanita yang juga menyempatkan shalat di Masjid Agung Sang Cipta Rasa ini. Mungkin karena alasan lain yang mistis sifatnya. Misalnya, sebagai ikhtiar agar mudah mendapatkan jodoh, murah rezeki, atau semakin dikasihi suami, dan lain-lain. Wallahu’alam.

Di masjid ini dikenal pula apa yang disebut “adzan pitu” atau “adzan tujuh” menjelang shalat Jumat. Yang dimaksud, memang, adzan yang dibawakan oleh tujuh orang. Adzan pitu, yang kemudian menjadi tradisi di masjid tersebut, mempunyai legendanya sendiri.

Kereta kencana Paksi Naga Liman

Kereta kencana Paksi Naga Liman adalah kereta kencana milik Keraton Kanoman, Cirebon, Jawa Barat. Dulu, kereta ini digunakan raja Keraton Kanoman untuk menghadiri upacara kebesaran. Selain itu, kereta ini juga digunakan untuk kirab pengantin keluarga Sultan Kanoman. Kereta tersebut diperkirakan dibuat tahun 1608 berdasarkan angka Jawa 1530 pada leher badan kereta yang merupakan angka tahun Saka. Sejak tahun 1930, kereta ini tidak digunakan dan disimpan di museum Keraton Kanoman; sedangkan yang sering dipakai pada perayaan-perayaan merupakan kereta tiruannya.
Kereta ini berukuran panjang 3 meter, lebar 1,5 meter, dan tinggi 2,6 meter dan ditarik oleh enam ekor kuda. Badan kereta terbagi dua bagian, yakni bagian atas dari kayu sebagai tempat duduk penumpang dan bagian bawah dari besi berupa rangkaian empat roda kereta. Bagian atas kereta berbentuk perpaduan tiga hewan seperti namanya, yakni burung garuda (paksi), ular naga (naga), dan gajah (liman), yang berarti melambangkan kekuatan udara, laut dan darat. Tempat duduk penumpang berbentuk badan gajah yang kakinya dilipat, berekor naga, bersayap garuda, dan berkepala perpaduan antara naga dan gajah. Di bagian kepala, wajah gajah berbelalai mencuat ke atas memegang trisula dan tombak

Sejarah Kabupaten Cirebon







Sejarah Kabupaten Cirebon

Raja Jaya Dewata menikah dengan Nyai Subang Larang dikarunia 2 (dua) orang putra dan seorang putri, Pangeran Walangsungsang yang lahir pertama tahun 1423 Masehi, kedua Nyai Lara Santang lahir tahun 1426 Masehi. Sedangkan Putra yang ketiga Raja Sengara lahir tahun 1428 Masehi. Pada tahun 1442 Masehi Pangeran Walangsungsang menikah dengan Nyai Endang Geulis Putri Ki Gedheng Danu Warsih dari Pertapaan Gunung Mara Api.
Mereka singgah di beberapa petapaan antara lain petapaan Ciangkup di desa Panongan (Sedong), Petapaan Gunung Kumbang di daerah Tegal dan Petapaan Gunung Cangak di desa Mundu Mesigit, yang terakhir sampe ke Gunung Amparan Jati dan disanalah bertemu dengan Syekh Datuk Kahfi yang berasal dari kerajaan Parsi. Ia adalah seorang Guru Agama Islam yang luhur ilmu dan budi pekertinya. Pangeran Walangsungsang beserta adiknya Nyai Lara Santang dan istrinya Nyai Endang Geulis berguru Agama Islam kepada Syekh Nur Jati dan menetap bersama Ki Gedheng Danusela adik Ki Gedheng Danuwarsih. Oleh Syekh Nur Jati, Pangeran Walangsungsang diberi nama Somadullah dan diminta untuk membuka hutan di pinggir Pantai Sebelah Tenggara Gunung Jati (Lemahwungkuk sekarang). Maka sejak itu berdirilah Dukuh Tegal Alang-Alang yang kemudian diberi nama Desa Caruban (Campuran) yang semakin lama menjadi ramai dikunjungi dan dihuni oleh berbagai suku bangsa untuk berdagang, bertani dan mencari ikan di laut.
Danusela (Ki Gedheng Alang-Alang) oleh masyarakat dipilih sebagai Kuwu yang pertama dan setelah meninggal pada tahun 1447 Masehi digantikan oleh Pangeran Walangsungsang sebagai Kuwu Carbon yang kedua bergelar Pangeran Cakrabuana. Atas petunjuk Syekh Nur Jati, Pangeran Walangsungsang dan Nyai Lara Santang menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Mekah.
Pangeran Walangsungsang mendapat gelar Haji Abdullah Iman dan adiknya Nyai Lara Santang mendapat gelar Hajah Sarifah Mudaim, kemudian menikah dengan seorang Raja Mesir bernama Syarif Abullah. Dari hasil perkawinannya dikaruniai 2 (dua) orang putra, yaitu Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah. Sekembalinya dari Mekah, Pangeran Cakrabuana mendirikan Tajug dan Rumah Besar yang diberi nama Jelagrahan, yang kemudian dikembangkan menjadi Keraton Pakungwati (Keraton Kasepuhan sekarang) sebagai tempat kediaman bersama Putri Kinasih Nyai Pakungwati. Stelah Kakek Pangeran Cakrabuana Jumajan Jati Wafat, maka Keratuan di Singapura tidak dilanjutkan (Singapura terletak + 14 Km sebelah Utara Pesarean Sunan Gunung Jati) tetapi harta peninggalannya digunakan untuk bangunan Keraton Pakungwati dan juga membentuk prajurit dengan nama Dalem Agung Nyi Mas Pakungwati. Prabu Siliwangi melalui utusannya, Tumenggung Jagabaya dan Raja Sengara (adik Pangeran Walangsungsang), mengakat Pangeran Carkrabuana menjadi Tumenggung dengan Gelar Sri Mangana.
Pada Tahun 1470 Masehi Syarif Hiyatullah setelah berguru di Mekah, Bagdad, Campa dan Samudra Pasai, datang ke Pulau Jawa, mula-mula tiba di Banten kemudian Jawa Timur dan mendapat kesempatan untuk bermusyawarah dengan para wali yang dipimpin oleh Sunan Ampel. Musyawarah tersebut menghasilkansuatu lembaga yang bergerak dalam penyebaran Agama Islam di Pulau Jawa dengan nama Wali Sanga.
Sebagai anggota dari lembaga tersebut, Syarif Hidayatullah datang ke Carbon untuk menemui Uwaknya, Tumenggung Sri Mangana (Pangeran Walangsungsang) untuk mengajarkan Agama Islam di daerah Carbon dan sekitarnya, maka didirikanlah sebuah padepokan yang disebut pekikiran (di Gunung Sembung sekarang)
Setelah Suna Ampel wafat tahun 1478 Masehi, maka dalam musyawarah Wali Sanga di Tuban, Syarif Hidayatullah ditunjuk untuk menggantikan pimpinan Wali Sanga. Akhirnya pusat kegiatan Wali Sanga dipindahkan dari Tuban ke Gunung Sembung di Carbon yang kemudian disebut puser bumi sebagai pusat kegiatan keagamaan, sedangkan sebagai pusat pemerintahan Kesulatan Cirebon berkedudukan di Keraton Pakungwati dengan sebutan GERAGE. Pada Tahun 1479 Masehi, Syarif Hidayatullah yang lebih kondang dengan sebutan Pangeran Sunan Gunung Jati menikah dengan Nyi Mas Pakungwati Putri Pangeran Cakrabuana dari Nyai Mas Endang Geulis. Sejak saat itu Pangeran Syarif Hidayatullah dinobatkan sebagai Sultan Carbon I dan menetap di Keraton Pakungwati.
Sebagaimana lazimnya yang selalu dilakukan oleh Pangeran Cakrabuana mengirim upeti ke Pakuan Pajajaran, maka pada tahun 1482 Masehi setelah Syarif Hidayatullah diangkat menajdi Sulatan Carbon membuat maklumat kepada Raja Pakuan Pajajaran PRABU SILIWANGI untuk tidak mengirim upeti lagi karena Kesultanan Cirebon sudah menjadi Negara yang Merdeka. Selain hal tersebut Pangeran Syarif Hidayatullah melalui lembaga Wali Sanga rela berulangkali memohon Raja Pajajaran untuk berkenan memeluk Agama Islam tetapi tidak berhasil. Itulah penyebab yang utama mengapa Pangeran Syarif Hidayatullah menyatakan Cirebon sebagai Negara Merdeka lepas dari kekuasaan Pakuan Pajajaran.
Peristiwa merdekanya Cirebon keluar dari kekuasaan Pajajaran tersebut, dicatat dalam sejarah tanggal Dwa Dasi Sukla Pakca Cetra Masa Sahasra Patangatus Papat Ikang Sakakala, bertepatan dengan 12 Shafar 887 Hijiriah atau 2 April 1482 Masehi yang sekarang diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Cirebon

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More