Raja Pajajaran Prabu Siliwanggi mengangkat Ki Gede Alang-alang sebagai kepala pemukiman baru ini dengan gelar Kuwu Cerbon. Daerahnya yang ada di bawah pengawasan Kuwu itu dibatasi oleh Kali Cipamali di sebelah Timur, Cigugur (Kuningan) di sebelah Selatan, pengunungan Kromong di sebelah Barat dan Junti (Indramayu) di sebelah Utara.
Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat kemudian digantikan oleh menantunya yang bernama Walangsungsang putra Prabu Siliwanggi dari Pajajaran. Walangsungsang ditunjuk dan diangkat sebagai Adipati Carbon dengan gelar Cakrabumi. Kewajibannya adalah membawa upeti kepada Raja di ibukota Rajagaluh yang berbentuk hasil bumi, akan tetapi setelah merasa kuat meniadakan pengiriman upeti, akibatnya Raja mengirim bala tentara, tetapi Cakrabumi berhasil mempertahankannya.
Kemudian Cakrabumi memproklamasikan kemerdekaannya dan mendirikan kerajaan Cirebon dengan mamakai gelar Cakrabuana. Karena Cakrabuana telah memeluk agama Islam dan pemerintahannya telah menandai mulainya kerajaan kerajaan Islam Cirebon, tetapi masih tetap ada hubungan dengan kerajaan Hindu Pajajaran.
Semenjak itu pelabuhan kecil Muara Jati menjadi besar, karena bertambahnya lalu lintas dari dan ke arah pedalaman, menjual hasil setempat sejauh daerah pedalaman Asia Tengara. Dari sinilah awal berangkat nama Cirebon hingga menjadi kota besar sampai sekarang ini.
Pangeran Cakra Buana kemudian membangun Keraton Pakungwati sekitar Tahun 1430 M, yang letaknya sekarang di dalam Komplek Keraton Kasepuhan Cirebon.
Secara
administratif terletak di Kampung Pamijahan, Desa Pamijahan, Kecamatan
Bantarkalong. Secara astronomis terletak pada koordinat 49 M 0177650 dan
UTM 9162411.
Situs terletak di daerah pedesaan yang arealnya dimanfaatkan
sebagai tempat perumahan penduduk, pasar, sawah, ladang, dan hutan.
Areal tersebut menempati lahan berbukit dan bergelombang. Situs termasuk
cukup ramai didatangi pengunjung. Untuk mencapai ke lokasi dijangkau
dari jalan raya bisa hanya bisa dicapai dengan jalan kaki menuju makam
sekitar 500m, sedangkan menuju goa sekitar 2 km.
Pamijahan merupakan goa alam dan makam penyebar agama Islam. Makam
Waliyullah Safardi, keluarga dan pengiringnya. Terletak dalam bangunan
empat persegi panjang. Di luar bangunan di sekitarnya terdapat
makam-makam keluarga. Makam-makam dalam bangunan lapisan pertama
berjumlah 24, kemudian dalam ruangan lapisan kedua berjumlah 11, dan
lapisan ketiga merupakan makam utama yang tertup dinding lagi. Goa
pamijahan terletak cukup jauh dari makam, memiliki mulut goa yang cukup
lebar dan tinggi. Di dalam gua orang bisa berdiri tegak dengan stalaktit
dan stalakmit yang kokoh. Goa cukup dalam dengan ruangan-ruangan yang
seolah-olah disekat sebagai tempat pertapaan, pesantren, mushola,
mimbar, lubang-lubang seperti mulaut gua di dalam gua (menurut cerita,
lubang tersebut adalah jalan tembus menuju Banten, Cirebon, bahkan
Mekah), memiliki mata air yang jernih (dikenal sebagai air zam zam).
Jalur jalan dalam gua dialiri air dan berbatu-batu.
Dalam sejarah lisan, gua Pamijahan adalah goa yang pernah menjadi
tempat hunian Syeikh Abdul Qodir Jaelani ± 200 sebelum Syeikh H. Abdul
Muhyi menerima ilmu agama dari gurunya, Syeikh Imam Sanusi. Letak goa di
kaki bukit Gunung Mujarod. Kata mujarod berarti penenangan karena di
dalam goa itulah Syeikh Abdul Muhyi sering mendekatkan diri kepada Allah
atau bersemedi. Kemudian kata pamijahan berasal dari masa sebelum
hidupnya, yaitu Saparwadi. Saparwadi berasal dari bahasa Arab, sapar
artinya jalan dan wadi berarti lembah atau jurang atau menjadi jalan
yang berada di atas jurang.
- See more at: http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/dest-det.php?id=18&lang=id#sthash.KZJFmpEh.dpuf






0 comments:
Post a Comment