Lazy Songs

Free Music Online
Free Music Online

free music at divine-music.info

Thursday, 28 February 2013

Linggar Jati

Desa Linggarjati merupakan sebuah Desa kecil yang berada di salah satu wilayah Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Praktis desa kecil ini dikenal oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia dan dunia, pada saat dilaksanakannya Perjanjian Linggarjati, pada tanggal 10-13 November 1946. Perjanjian ini dianggap sebagai  perjanjian yang sangat penting, karena berhubungan erat dengan eksistensi Pemerintah Indonesia dimata dunia pada waktu itu, baik secara De Facto dan De Jure dipertaruhkan.







[navigasi.net] Tempat Bersejarah - Gedung Linggarjati


Ibarat sungai, Linggarjati merupakan salah satu mata air yang mengaliri sungai tersebut, sehingga air mengalir terus sampai ke hilir dan akhirnya bermuara di laut membentuk lautan yang luas dengan segala kekayaaan alamnya. Begitupun dengan Linggarjati, merupakan bagian yang sangat penting dari perjalanan sejarah Bangsa Indonesia, sehingga sampai sekarang bisa menjadi bangsa yang merdeka dan berdaulat. Diantara isi pokok persetujuan Linggarjati adalah : (1) Belanda mengakui secara De Facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatra, Jawa, dan Madura; (2) Republik Indonesia dan Belanda akan bekerjasama dalam membentuk negara Indonesia Serikat, yang salah satu negara bagiannya adalah Republik Indonesia;(3) Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia - Belanda dengan Ratu Belanda selaku ketuanya.
Peristiwa yang berlangsung 59 tahun silam tersebut, masih dapat kita saksikan melalui peninggalan-peninggalan yang ada di Gedung Linggarjati, sekaligus dijadikan sebagai salah satu bangunan cagar budaya oleh Pemerintah sesuai dengan UU.No.5 tahun 1992. Desa Linggarjati sendiri berada di wilayah Blok Wage, Dusun Tiga, Kampung Cipaku, kecamatan Cilimus Kabupaten Kuningan Jawa Barat. Desa ini terletak pada ketinggian 400 meter di atas permukaan air laut, dimana sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Sebelah selatan desa ini berbatasan dengan Desa Linggasana, sebelah timur berbatasan dengan Desa Linggamekar, sebelah utara berbatasan dengan Desa Lingga Indah dan sebelah barat berbatasan dengan Gunung Ciremai. Untuk mencapai lokasi ini tidaklah terlalu sulit, karena akses jalan aspal yang mulus, sehingga mudah sekali dijangkau dengan kendaraan pribadi maupun kendaraan umum. Dari arah Cirebon kurang lebih 25 km sedangkan dari arah Kuningan kurang lebih 17 km.
Hawa sejuk dan damai akan kita rasakan ketika mulai memasuki pelataran Gedung Linggarjati. Bangunan kuno dan megah yang dikelilingi oleh taman yang asri, dengan suasana yang tidak terlalu ramai, semakin menambah penghayatan suasana Linggarjati. Luas komplek Linggarjati kurang lebih 2,4 hektare, dimana sepertiga dari luas tersebut merupakan bangunan gedung yang dipergunakan untuk perundingan. Bangunan ini sendiri tadinya dibangun oleh warga negara Belanda, sebagai tempat peristirahatan, yang kemudian dipilih sebagai tempat perundingan dan akhirnya diserahkan kepada Pemerintah Indonesia sebagai salah satu bangunan cagar budaya Pemerintah Indonesia. Walaupun berupa bangunan lama, tapi secara keseluruhan kebersihan gedung ini nampak terjaga sekali. Ada 14 orang yang membantu merawat gedung ini, diantaranya 7 orang merupakan PNS ( Pegawai Negeri Sipil ), dan sisanya adalah pegawai honorer.







[navigasi.net] Tempat Bersejarah - Gedung Linggarjati


Bangunan ini terdiri dari beberapa ruang, yaitu ruang tamu, ruang tengah, kamar tidur, kamar mandi dan ruang belakang. Ruang tamu dipergunakan sebagai ruang untuk melakukan lobi dan meeting informal. ruang tengah merupakan ruang utama, dimana perjanjian Linggarjati dilaksanakan. Ternyata posisi kursi yang diduduki oleh para anggota perundingan masih sama seperti dulu waktu perundingan dilangsungkan. diantara para peserta perundingan tersebut adalah, delegasi Indonesia terdiri dari : 1.Sutan Sjahrir;2.Mr.Soesanto Tirtoprodjo;3.Dr.A.K.Gani;4.Mr.Muhammad Roem;. delegasi Belanda terdiri dari:1.Prof.Ir. Schermerhorn ; 2.Mr.Van Poll ; 3.Dr.F.DeBoer ; 4.Dr.Van Mook. Dan sebagai notulensi adalah; 1.Dr.J.Leimena;2.Dr.Soedarsono;3.Mr.Amir Sjarifuddin;3.Mr.Ali Budiardjo. Kamar-kamar tidur yang bersebelahan dengan ruang perundingan merupakan tempat tidur yang dipergunakan oleh delegasi Indonesia dan Belanda selama mengikuti jalannya perundingan.
Hari-hari biasa tempat ini biasanya sepi pengunjung, paling-paling kalau ada kunjungan biasanya kunjungan nostalgia dari para wisman Belanda yang ingin. Baru pada hari libur, tempat ini ramai dikunjungi oleh pengunjung yang hampir sebagian besar adalah anak-anak sekolah, yang tidak hanya berasal dari daerah sekitar, namun juga berasal dari seluruh wilayah Indonesia. Biaya operasional tempat ini, selain diberi subsidi oleh Pemerintah, juga sedikit terbantu oleh kehadiran pengunjung. Pengunjung yang datang diharapkan bisa mengisi uang kas dengan jumlah seikhlasnya, kemudian uang tersebut digunakan untuk membantu biaya perawatan gedung. Menurut Pak Judi, salah satu petugas museum mengatakan,"Peranan pemerintah untuk menjaga kelestarian gedung ini sangat diharapkan, terutama dalam hal pendanaan,". Selama ini banyak sekali para Pejabat Pemerintah yang memberikan sumbang saran, namun lebih dari itu adalah bukti konkret berupa pendanaan untuk terus menjaga kelestarian Gedung Linggarjati.
Tidak jauh dari Museum Linggarjati, tersedia juga obyek wisata alam sebagai pelengkap wisata Museum Linggarjati. Tempat tersebut terdiri dari taman-taman dengan pohon-pohon yang rindang dan dilengkapi dengan berbagai fasilitas yang lain. Seperti kolam renang, kemudian danau buatan-dimana kita bisa melintasi danau tersebut dengan perahu karet dan tersedia juga pondok-pondok penginapan bagi pengunjung yang ingin menginap ditempat tersebut. Sayangnya, pengelolaan tempat tersebut kurang diperhatikan, sehingga terlihat agak kotor, banyak sampah yang berserakan dan pengaturan taman-taman yang kurang rapi, sehingga banyak rumput yang tumbuh disana-sini. Untuk menjaring pengunjung yang lebih banyak, pemda setempat harus lebih peduli, baik dalam hal pengelolaan maupun dalam hal promosi. Karena lokasi yang mudah dijangkau, serta udara yang cukup sejuk, wisata ini kalau dikelola secara profesional tentu kedepan akan semakin menarik banyak wisatawan.

Legenda telaga remis

Legenda “Telaga Remis”
Konon, zaman dahulu kala. Di desa Pajaten, ada sepasang kekasih yang saling mencintai, yaitu Nyimas Sari dan Joko Laga. Mereka begitu saling menyayangi, dan mereka pun berjanji akan selalu bersama.
Nyimas Sari adalah putri saudagar kaya yang sombong di desa Pajaten. Sedangkan Prabu Laga hanyalah seoarng anak yatim piatu dari desa dari keluarga yang miskin. Walau begitu, mereka tidak menghiraukan perbedaan derajat antara keduanya. Mereka tetap saling mencintai.
Namun, ditengah-tengah kebahagiaan mereka berdua. Kedua orang tua nyimas Sari tidak menginginkan kalau nyimas Sari berhubungan dengan seorang miskin. Kedua Orang tua nyimas Sari begitu menyayangi Sari, mereka menginginkan agar suatu saat nyimas Sari bisa menikah dengan seorang kaya, agar hidupnya bahagia.
Nyimas Sari dan Joko Laga mencoba untuk menyembunyikan hubungan keduanya kepada Orang tua nyimas Sari. Namun, lambat laun hubungan keduanya pun akhirnya diketahui oleh orang tua Sari. Orang tuanya pun begitu marah kepada Sari. “Sari!! Tidakkah kau tau, kalau kau adalah putri saudagar paling kaya di desa ini?! Mengapa kau berhubungan dengan orang miskin” Kedua orang tua Sari memarahi Sari. “Ampun, Ayah.. Ibu.. tapi kami berdua saling mencintai dan kami tidak peduli dengan perbedaan drajat antara kami” ujar Sari. “Tapi mengapa harus dengan orang miskin?!” kata Ibu Sari sambil marah. “Kalu begitu, lebih baik aku nikahkan saja kau dengan seorang yang lebih pantas untukmu” tambah Ayah Sari. “Aku tidak mau!!!” jawab Sari membantah. “Kalau kau tetap membantah, jangan harap kau bisa bahagia dengan lelaki yang kau pilih itu” ancam Ibu Sari.
Suatu hari Nyimas Sari dan Joko Laga bermaksud untuk pergi meninggalkan desa, agar mereka bisa hidup bahagia tanpa ada yang melarang.
Kedua orang tua nyimas Sari pun mengetahuinya, kalau anaknya telah pergi bersama Joko Laga meninggalkan desa. Dengan jengkelnya, akhirnya kedua Orang tua nyimas Sari mengutuk nyimas Sari dan Joko Laga menjadi seekor ‘remis’. “Kurang ajar! Mereka tetap saja nekat, hati mereka memang keras sekeras remis’ memang sepantasnya mereka mereka menjadi seekor Remis !!” tanpa sadar mereka telah mengutuk anaknya dan Joko Laga menjadi seekor remis.
Pada suatu hari, ditengah hutan. Nyimas Sari merasa sangat kehausan, namun ditengah hutan itu tidak setetes air pun ditemukan. Lalu, Joko Laga bermaksud untuk menggali tanah dan berharap menemuakn air. Lama-lama lubang semakin dalam, air pun keluar dari dalam tanah.
Joko Laga pun terkejut. “Hah! Banyak sekali air yang keluar”. Lalu mereka berdua pun meminum air itu.
Namun, mereka terheran, “Mengapa air ini tidak berhenti, bahkan tambah banyak” ujar mereka.
Saat itu, mendadak langit menjadi mendung. Petir pun menyambar dengan menyeramkan. Mungkin kutukan itu telah datang kepada mereka berdua.
Akhirnya, mereka berdua pun berubah menjadi seekor Remis. Dan air yang keluar dari tanah itu pun semakin banyak dan meluas, hingga membentuk sebuah Telaga. Dan akhirnya telaga itu pun disebut dengan “Telaga Remis.
 
 

Gedung Bank Indonesia Cabang Cirebon

Gedung Bank Indonesia Cabang Cirebon

Kagumilah keindahan arsitektur Bank Indonesia cabang Cirebon dalam gaya klasik dan balutan warna putihnya. Gedung tiga lantai ini berdiri di atas lahan seluas ± 1.961 m2. Fungsinya semula adalah  Agenschap De Cheribon  dan dibuka tanggal 31 Juli 1866 sebagai kantor cabang ke- 5 De Javasche Bank. Direnovasi dari hanya satu lantai menjadi tiga lantai, akhirnya pada tanggal 21 September 1919 gedung ini dirancang oleh arsitek F.D. Ciypers & Hulswit dengan gaya art deco. Eks Gedung De Javasche Bank Cabang Cirebon merupakan satu-satunya yang memiliki satu kubah sebagai tanda keunikannya.  De Javasche Bank hingga sekarang sudah beberapa kali berganti nama; pada masa pemerintahan Jepang menjadi Hanpo Kaihatsu Ginko, kemudian Bank Indonesia. Dari tahun 1866 sampai dengan 1953 selalu dipegang oleh bangsa Belanda kecuali pada masa Jepang. Sejak tahun 1954 pimpinan kantor cabang dipegang oleh bangsa Indonesia.
Lokasi:  Jalan Yos Sudarso, Kampung Cangkol, Desa Lemahwungkuk, Kecamatan Lemahwungku

Keraton Kacirebonan

Keraton Kacirebonan Cirebon

Keraton Kacirebonan merupakan keraton yang paling kecil diantara keraton lain yang sempat kami kunjungi di Kota Cirebon. Kami datang ke Keraton Kacirebonan setelah meninggalkan Masjid Agung Sang Cipta Rasa Keraton Kasepuhan, masih dengan menumpang becak yang sama. Lokasi Keraton Kacirebonan ini berada di Jl. Pulasaren, Kelurahan Pulasaren, Kecamatan Pekalipan, Kota Cirebon, dengan halaman depan yang cukup luas.
Sebelum masuk ke dalam wilayah keraton yang dipagari tembok tinggi, kami diminta untuk menemui beberapa orang petugas yang berjaga di sebuah bangunan semacam joglo di depan tembok keraton. Setelah menjelaskan maksud kedatangan, dan mendapat sedikit penjelasan tentang keraton dan mengenai tiket masuk yang boleh dibayar belakangan, kami pun masuk ke dalam Keraton Kacirebonan ditemani oleh salah seorang petugas.
Keraton Kacirebonan
Dua buah becak yang ditumpangi oleh masing-masing seorang teman berhenti sejenak di depan gapura pertama Keraton Kacirebonan, serta papan penanda Benda Cagar Budaya di sebelah kanannya yang menyebut tahun 1808 sebagai tahun berdirinya Keraton Kacirebonan.
Keraton Kacirebonan
Sebuah tulisan pada dinding gapura kedua Keraton Kacirebonan yang menyerupai bentuk tulisan dalam huruf Jawa.
Keraton Kacirebonan
Beranda depan Keraton Kacirebonan dengan halaman depan yang cukup luas, yang diteduhi oleh pohon rindang. Meskipun Keraton Kacirebonan ini sederhana saja dan menyerupai rumah biasa, namun bangunan ini menyimpan kisah perjuangan Pangeran Raja Kanoman melawan penjajah kolonial Belanda.
Di Keraton Kacirebon terdapat tradisi tahunan seperti Suraan, Syafaran, Muludan, Rajaban, Rowahan, Tarawehan, Likuran, Tadarusan di bulan Ramadhan, Grebeg Syawal (Idul Fitri) dan Raya Agungan (Idul Adha). Puncaknya adalah acara “Panjang Jimat” yang dilakukan setiap tanggal 12 Rabiul awwal bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi.
Keraton Kacirebonan
Potret Sultan Kacirebonan yang menempel di ruang beranda Keraton Kacirebonan. Sejarah Keraton Kacirebonan dimulai ketika Pangeran Raja Kanoman, pewaris takhta Kesultanan Keraton Kanoman bergabung dengan rakyat Cirebon dalam menolak pajak yang diterapkan Belanda, yang memicu pemberontakan di beberapa tempat.
Pangeran Raja Kanoman kemudian tertangkap oleh Belanda dan dibuang ke benteng Viktoria di Ambon, dilucuti gelarnya, serta dicabut haknya sebagai Sultan Keraton Kanoman. Namun karena perlawanan rakyat Cirebon tidak juga reda, Belanda akhirnya membawa kembali Pangeran Raja Kanoman ke Cirebon dalam upaya mengakhiri pemberontakan. Status kebangsawanan Pangeran Raja Kanoman pun dikembalikan, namun haknya atas Kesultanan Keraton Kanoman tetap dicabut.
Keraton Kacirebonan
Ruang tengah Keraton Kacirebonan yang cukup sempit, yang digunakan untuk menerima tamu-tamu penting yang datang ke Keraton Kacirebonan. Sekembalinya ke Cirebon, pada 1808, Pangeran Raja Kanoman tinggal di kompleks Gua Sunyaragi dan bergelar Sultan Amiril Mukminin Muhammad Khaerudin atau Sultan Carbon, walaupun tidak memiliki keraton.
Sampai wafatnya pada 1814, Sultan Carbon tetap konsisten dengan sikapnya dengan menolak uang pensiun dari Belanda. Kesultanan Carbon kemudian diwakili oleh istri mendiang Sultan Carbon yang bernama Ratu Raja Resminingpuri. Adalah sang Ratu yang kemudian membangun Keraton Kacirebonan, dengan menggunakan uang pensiun yang diberikan oleh Belanda.
Keraton Kacirebonan
Di samping bangunan utama Keraton Kacirebonan terdapat sebuah bangunan kecil yang difungsikan sebagai sebuah museum. Gamelan pada foto di atas adalah salah satu koleksi museum Keraton Kacirebonan ini.
Keraton Kacirebonan
Di sebelah kiri adalah koleksi kain batik tua Keraton Kacirebonan, dengan kotak wayang bercat hijau di sebelah kanan. Museum Keraton Kacirebonan ini tampaknya selalu ditutup dan hanya dibuka ketika ada pengunjung datang dan ingin melihat koleksinya.
Keraton Kacirebonan
Koleksi wayang kulit yang disimpan di dalam kotak kayu yang sepertinya sudah lama tidak digunakan dalam pagelaran.
Keraton Kacirebonan
Sebuah koleksi Keraton Kacirebonan berbentuk semacam wadah dengan ornamen tak beraturan yang diletakkan di sebelah kurungan yang digunakan dalam ritual tedak siti, mudun lemah, atau turun ke tanah untuk bayi yang berusia 7 bulanan. Di dalam kurungan ini ada kursi dan tangga kecil berundak.
Keraton Kacirebonan
Tampak muka bangunan gedung Keraton Kacirebonan. Meskipun tidak banyak yang bisa dilihat di dalam kompleks Keraton Kacirebonan ini, namun yang menarik diantara semua yang ada adalah sejarah berdirinya Keraton Kacirebonan ini yang lahir dari perlawanan Pangeran Raja Kanoman melawan penindasan kolonial Belanda, dan konsistensi perlawanan sang Pangeran sampai akhir hayatnya.

Masjid Agung Sang Cipta Rasa


Masjid yang satu ini tergolong unik, antik, dan bersejarah: dibangun tahun 1500 – lebih dari 500 tahun usianya! Terdapat di Cirebon, Jawa Barat, syahdan masjid ini dibangun oleh warga Cirebon dan Demak di bawah pengawasan Walisanga. Bangunannya dirancang oleh Raden Sepat dari Demak, di bawah pengawasan Sunan Kalijaga.

Berbentuk bujur sangkar, luas masjid itu 625 m2. Bentuk tersebut sengaja dibuat untuk menyesuaikannya dengan konstruksi joglo masjid itu. Sedang nama Sang Cipta Rasa diberikan oleh Sunan Gunung Jati, karena ia menganggap masjid tersebut merupakan upaya pendekatan diri dengan Sang Pencipta, Allah SWT. Itu yang menyebabkan masjid ini benar-benar menggunakan nama Indonesia, bukan nama Arab seperti lazimnya.

Arsitektur masjid ini tampak masih sangat kuat dipengaruhi kultur “Hindu-Jawa”. Yaitu, menggunakan atap tumpang tiga dengan konstruksi joglo. Keseluruhan bangunan terbuat dari kayu jati, karena, saat pembangunannya, jenis kayu kuat itu sangat disukai dan merupakan salah satu bahan bangunan yang banyak sekali digunakan, terutama oleh kaum bangsawan. Kayu jati tersebut diperoleh dari Cirebon sendiri di samping didatangkan dari Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Alkisah, beberapa tahun setelah masjid ini dibangun, atapnya disambar petir. Karena itu atapnya yang semula berpola joglo diganti dengan atap limasan. Perubahan bentuk atap ini dikaitkan dengan paham yang menyatakan bahwa di hadapan Tuhan manusia adalah sama, apakah ia kaya atau miskin, bangsawan atau bukan.

Jika kita memasuki ruang shalat, akan tampak tiga buah ubin di depan mihrab – ubin pertama dari lubang mihrab. Ketiga ubin tersebut masing-masing dibuat oleh Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang, dan Sunan Kalijaga. Begitulah yang diketahui masyarakat Cirebon.

Bangunan masjid ini memang menyimpan sejumlah keunikan. Salah satunya adalah pintu yang terdapat di sana. Di samping pintu yang ada di sebelah kiri dan kanan masjid, terdapat juga delapan pintu lainnya. Orang harus berhati-hati saat masuk atau keluar melalui salah satu pintu tersebut, karena pintu-pintu itu kecil dan sangat rendah, sehingga terkadang orang harus berjongkok untuk melaluinya.

Mungkin, karena tuanya dan sarat menyimpan sejarah, lahirlah cerita dari mulut ke mulut yang tidak masuk akal atau sesuatu yang mistis sifatnya tentang masjid ini. Misalnya, ada orang yang mengatakan, Masjid Agung Sang Cipta Rasa dibangun dalam satu malam, yaitu dimulai setelah waktu isya dan selesai menjelang fajar. Dengan demikian masjid tersebut telah dapat digunakan untuk shalat Subuh.

Ada pula yang percaya, barang siapa melaksanakan shalat Jumat berturut-turut selama 40 kali di Masjid Agung Sang Cipta Rasa, nilai ibadahnya sama dengan ibadah haji ke Tanah Suci Makkah. Lalu, ada pula yang percaya, jika orang melaksanakan shalat Jumat di masjid ini, ia akan bertemu Nabi Khidhir atau Sunan Kalijaga.

Banyak jamaah dari kalangan wanita yang juga menyempatkan shalat di Masjid Agung Sang Cipta Rasa ini. Mungkin karena alasan lain yang mistis sifatnya. Misalnya, sebagai ikhtiar agar mudah mendapatkan jodoh, murah rezeki, atau semakin dikasihi suami, dan lain-lain. Wallahu’alam.

Di masjid ini dikenal pula apa yang disebut “adzan pitu” atau “adzan tujuh” menjelang shalat Jumat. Yang dimaksud, memang, adzan yang dibawakan oleh tujuh orang. Adzan pitu, yang kemudian menjadi tradisi di masjid tersebut, mempunyai legendanya sendiri.

Kereta kencana Paksi Naga Liman

Kereta kencana Paksi Naga Liman adalah kereta kencana milik Keraton Kanoman, Cirebon, Jawa Barat. Dulu, kereta ini digunakan raja Keraton Kanoman untuk menghadiri upacara kebesaran. Selain itu, kereta ini juga digunakan untuk kirab pengantin keluarga Sultan Kanoman. Kereta tersebut diperkirakan dibuat tahun 1608 berdasarkan angka Jawa 1530 pada leher badan kereta yang merupakan angka tahun Saka. Sejak tahun 1930, kereta ini tidak digunakan dan disimpan di museum Keraton Kanoman; sedangkan yang sering dipakai pada perayaan-perayaan merupakan kereta tiruannya.
Kereta ini berukuran panjang 3 meter, lebar 1,5 meter, dan tinggi 2,6 meter dan ditarik oleh enam ekor kuda. Badan kereta terbagi dua bagian, yakni bagian atas dari kayu sebagai tempat duduk penumpang dan bagian bawah dari besi berupa rangkaian empat roda kereta. Bagian atas kereta berbentuk perpaduan tiga hewan seperti namanya, yakni burung garuda (paksi), ular naga (naga), dan gajah (liman), yang berarti melambangkan kekuatan udara, laut dan darat. Tempat duduk penumpang berbentuk badan gajah yang kakinya dilipat, berekor naga, bersayap garuda, dan berkepala perpaduan antara naga dan gajah. Di bagian kepala, wajah gajah berbelalai mencuat ke atas memegang trisula dan tombak

Sejarah Kabupaten Cirebon







Sejarah Kabupaten Cirebon

Raja Jaya Dewata menikah dengan Nyai Subang Larang dikarunia 2 (dua) orang putra dan seorang putri, Pangeran Walangsungsang yang lahir pertama tahun 1423 Masehi, kedua Nyai Lara Santang lahir tahun 1426 Masehi. Sedangkan Putra yang ketiga Raja Sengara lahir tahun 1428 Masehi. Pada tahun 1442 Masehi Pangeran Walangsungsang menikah dengan Nyai Endang Geulis Putri Ki Gedheng Danu Warsih dari Pertapaan Gunung Mara Api.
Mereka singgah di beberapa petapaan antara lain petapaan Ciangkup di desa Panongan (Sedong), Petapaan Gunung Kumbang di daerah Tegal dan Petapaan Gunung Cangak di desa Mundu Mesigit, yang terakhir sampe ke Gunung Amparan Jati dan disanalah bertemu dengan Syekh Datuk Kahfi yang berasal dari kerajaan Parsi. Ia adalah seorang Guru Agama Islam yang luhur ilmu dan budi pekertinya. Pangeran Walangsungsang beserta adiknya Nyai Lara Santang dan istrinya Nyai Endang Geulis berguru Agama Islam kepada Syekh Nur Jati dan menetap bersama Ki Gedheng Danusela adik Ki Gedheng Danuwarsih. Oleh Syekh Nur Jati, Pangeran Walangsungsang diberi nama Somadullah dan diminta untuk membuka hutan di pinggir Pantai Sebelah Tenggara Gunung Jati (Lemahwungkuk sekarang). Maka sejak itu berdirilah Dukuh Tegal Alang-Alang yang kemudian diberi nama Desa Caruban (Campuran) yang semakin lama menjadi ramai dikunjungi dan dihuni oleh berbagai suku bangsa untuk berdagang, bertani dan mencari ikan di laut.
Danusela (Ki Gedheng Alang-Alang) oleh masyarakat dipilih sebagai Kuwu yang pertama dan setelah meninggal pada tahun 1447 Masehi digantikan oleh Pangeran Walangsungsang sebagai Kuwu Carbon yang kedua bergelar Pangeran Cakrabuana. Atas petunjuk Syekh Nur Jati, Pangeran Walangsungsang dan Nyai Lara Santang menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Mekah.
Pangeran Walangsungsang mendapat gelar Haji Abdullah Iman dan adiknya Nyai Lara Santang mendapat gelar Hajah Sarifah Mudaim, kemudian menikah dengan seorang Raja Mesir bernama Syarif Abullah. Dari hasil perkawinannya dikaruniai 2 (dua) orang putra, yaitu Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah. Sekembalinya dari Mekah, Pangeran Cakrabuana mendirikan Tajug dan Rumah Besar yang diberi nama Jelagrahan, yang kemudian dikembangkan menjadi Keraton Pakungwati (Keraton Kasepuhan sekarang) sebagai tempat kediaman bersama Putri Kinasih Nyai Pakungwati. Stelah Kakek Pangeran Cakrabuana Jumajan Jati Wafat, maka Keratuan di Singapura tidak dilanjutkan (Singapura terletak + 14 Km sebelah Utara Pesarean Sunan Gunung Jati) tetapi harta peninggalannya digunakan untuk bangunan Keraton Pakungwati dan juga membentuk prajurit dengan nama Dalem Agung Nyi Mas Pakungwati. Prabu Siliwangi melalui utusannya, Tumenggung Jagabaya dan Raja Sengara (adik Pangeran Walangsungsang), mengakat Pangeran Carkrabuana menjadi Tumenggung dengan Gelar Sri Mangana.
Pada Tahun 1470 Masehi Syarif Hiyatullah setelah berguru di Mekah, Bagdad, Campa dan Samudra Pasai, datang ke Pulau Jawa, mula-mula tiba di Banten kemudian Jawa Timur dan mendapat kesempatan untuk bermusyawarah dengan para wali yang dipimpin oleh Sunan Ampel. Musyawarah tersebut menghasilkansuatu lembaga yang bergerak dalam penyebaran Agama Islam di Pulau Jawa dengan nama Wali Sanga.
Sebagai anggota dari lembaga tersebut, Syarif Hidayatullah datang ke Carbon untuk menemui Uwaknya, Tumenggung Sri Mangana (Pangeran Walangsungsang) untuk mengajarkan Agama Islam di daerah Carbon dan sekitarnya, maka didirikanlah sebuah padepokan yang disebut pekikiran (di Gunung Sembung sekarang)
Setelah Suna Ampel wafat tahun 1478 Masehi, maka dalam musyawarah Wali Sanga di Tuban, Syarif Hidayatullah ditunjuk untuk menggantikan pimpinan Wali Sanga. Akhirnya pusat kegiatan Wali Sanga dipindahkan dari Tuban ke Gunung Sembung di Carbon yang kemudian disebut puser bumi sebagai pusat kegiatan keagamaan, sedangkan sebagai pusat pemerintahan Kesulatan Cirebon berkedudukan di Keraton Pakungwati dengan sebutan GERAGE. Pada Tahun 1479 Masehi, Syarif Hidayatullah yang lebih kondang dengan sebutan Pangeran Sunan Gunung Jati menikah dengan Nyi Mas Pakungwati Putri Pangeran Cakrabuana dari Nyai Mas Endang Geulis. Sejak saat itu Pangeran Syarif Hidayatullah dinobatkan sebagai Sultan Carbon I dan menetap di Keraton Pakungwati.
Sebagaimana lazimnya yang selalu dilakukan oleh Pangeran Cakrabuana mengirim upeti ke Pakuan Pajajaran, maka pada tahun 1482 Masehi setelah Syarif Hidayatullah diangkat menajdi Sulatan Carbon membuat maklumat kepada Raja Pakuan Pajajaran PRABU SILIWANGI untuk tidak mengirim upeti lagi karena Kesultanan Cirebon sudah menjadi Negara yang Merdeka. Selain hal tersebut Pangeran Syarif Hidayatullah melalui lembaga Wali Sanga rela berulangkali memohon Raja Pajajaran untuk berkenan memeluk Agama Islam tetapi tidak berhasil. Itulah penyebab yang utama mengapa Pangeran Syarif Hidayatullah menyatakan Cirebon sebagai Negara Merdeka lepas dari kekuasaan Pakuan Pajajaran.
Peristiwa merdekanya Cirebon keluar dari kekuasaan Pajajaran tersebut, dicatat dalam sejarah tanggal Dwa Dasi Sukla Pakca Cetra Masa Sahasra Patangatus Papat Ikang Sakakala, bertepatan dengan 12 Shafar 887 Hijiriah atau 2 April 1482 Masehi yang sekarang diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Cirebon

Asal Kota Cirebon


Asal kota Cirebon ialah pada abad ke 14 di pantai utara Jawa Barat ada desa nelayan kecil yang bernama Muara Jati yang terletak di lereng bukit Amparan Jati. Muara Jati adalah pelabuhan nelayan kecil. Penguasa kerajaan Galuh yang ibu kotanya Rajagaluh menempatkan seorang sebagai pengurus pelabuhan atau syahbandar Ki Gedeng Tapa. Pelabuhan Muara Jati banyak di singgahi kapal-kapal dagang dari luar di antaranya kapal Cina yang datang untuk berniaga dengan penduduk setempat, yang di perdagangkannya adalah garam, hasil pertanian dan terasi. Kemudian Ki Gendeng Alang-alang mendirikan sebuah pemukiman di lemahwungkuk yang letaknya kurang lebih 5 km, ke arah Selatan dari Muara Jati. Karena banyak saudagar dan pedangan asing juga dari daerah-daer5ah lain yang bermukim dan menetap maka daerah itu di namakan Caruban yang berarti campuran kemudian berganti Cerbon kemudian menjadi Cirebon hingga sekarang.
Raja Pajajaran Prabu Siliwanggi mengangkat Ki Gede Alang-alang sebagai kepala pemukiman baru ini dengan gelar Kuwu Cerbon. Daerahnya yang ada di bawah pengawasan Kuwu itu dibatasi oleh Kali Cipamali di sebelah Timur, Cigugur (Kuningan) di sebelah Selatan, pengunungan Kromong di sebelah Barat dan Junti (Indramayu) di sebelah Utara.
Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat kemudian digantikan oleh menantunya yang bernama Walangsungsang putra Prabu Siliwanggi dari Pajajaran. Walangsungsang ditunjuk dan diangkat sebagai Adipati Carbon dengan gelar Cakrabumi. Kewajibannya adalah membawa upeti kepada Raja di ibukota Rajagaluh yang berbentuk hasil bumi, akan tetapi setelah merasa kuat meniadakan pengiriman upeti, akibatnya Raja mengirim bala tentara, tetapi Cakrabumi berhasil mempertahankannya.
Kemudian Cakrabumi memproklamasikan kemerdekaannya dan mendirikan kerajaan Cirebon dengan mamakai gelar Cakrabuana. Karena Cakrabuana telah memeluk agama Islam dan pemerintahannya telah menandai mulainya kerajaan kerajaan Islam Cirebon, tetapi masih tetap ada hubungan dengan kerajaan Hindu Pajajaran.
Semenjak itu pelabuhan kecil Muara Jati menjadi besar, karena bertambahnya lalu lintas dari dan ke arah pedalaman, menjual hasil setempat sejauh daerah pedalaman Asia Tengara. Dari sinilah awal berangkat nama Cirebon hingga menjadi kota besar sampai sekarang ini.
Pangeran Cakra Buana kemudian membangun Keraton Pakungwati sekitar Tahun 1430 M, yang letaknya sekarang di dalam Komplek Keraton Kasepuhan Cirebon.
Secara administratif terletak di Kampung Pamijahan, Desa Pamijahan, Kecamatan Bantarkalong. Secara astronomis terletak pada koordinat 49 M 0177650 dan UTM 9162411.
Situs terletak di daerah pedesaan yang arealnya dimanfaatkan sebagai tempat perumahan penduduk, pasar, sawah, ladang, dan hutan. Areal tersebut menempati lahan berbukit dan bergelombang. Situs termasuk cukup ramai didatangi pengunjung. Untuk mencapai ke lokasi dijangkau dari jalan raya bisa hanya bisa dicapai dengan jalan kaki menuju makam sekitar 500m, sedangkan menuju goa sekitar 2 km.
Pamijahan merupakan goa alam dan makam penyebar agama Islam. Makam Waliyullah Safardi, keluarga dan pengiringnya. Terletak dalam bangunan empat persegi panjang. Di luar bangunan di sekitarnya terdapat makam-makam keluarga. Makam-makam dalam bangunan lapisan pertama berjumlah 24, kemudian dalam ruangan lapisan kedua berjumlah 11, dan lapisan ketiga merupakan makam utama yang tertup dinding lagi. Goa pamijahan terletak cukup jauh dari makam, memiliki mulut goa yang cukup lebar dan tinggi. Di dalam gua orang bisa berdiri tegak dengan stalaktit dan stalakmit yang kokoh. Goa cukup dalam dengan ruangan-ruangan yang seolah-olah disekat sebagai tempat pertapaan, pesantren, mushola, mimbar, lubang-lubang seperti mulaut gua di dalam gua (menurut cerita, lubang tersebut adalah jalan tembus menuju Banten, Cirebon, bahkan Mekah), memiliki mata air yang jernih (dikenal sebagai air zam zam). Jalur jalan dalam gua dialiri air dan berbatu-batu.
Dalam sejarah lisan, gua Pamijahan adalah goa yang pernah menjadi tempat hunian Syeikh Abdul Qodir Jaelani ± 200 sebelum Syeikh H. Abdul Muhyi menerima ilmu agama dari gurunya, Syeikh Imam Sanusi. Letak goa di kaki bukit Gunung Mujarod. Kata mujarod berarti penenangan karena di dalam goa itulah Syeikh Abdul Muhyi sering mendekatkan diri kepada Allah atau bersemedi. Kemudian kata pamijahan berasal dari masa sebelum hidupnya, yaitu Saparwadi. Saparwadi berasal dari bahasa Arab, sapar artinya jalan dan wadi berarti lembah atau jurang atau menjadi jalan yang berada di atas jurang.
- See more at: http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/dest-det.php?id=18&lang=id#sthash.KZJFmpEh.dpuf

Sejarah

Keraton Kasepuhan didirikan pada tahun 1529 oleh Pangeran Mas Mochammad Arifin II yang menggantikan tahta dari Sunan Gunung Jati pada tahun 1506. Ia bersemayam di Dalem Agung Pakungwati, Cirebon. Keraton Kasepuhan dulunya bernama Keraton Pakungwati, sedangkan Pangeran Mas Mochammad Arifin bergelar Panembahan Pakungwati I. Sebutan Pakungwati berasal dari nama Ratu Dewi Pakungwati binti Pangeran Cakrabuana yang menikah dengan Sunan Gunung Jati. Ia wafat pada tahun 1549 dalam Mesjid Agung Sang Cipta Rasa dalam usia yang sangat tua. Nama beliau diabadikan dan dimuliakan oleh nasab Sunan Gunung Jati sebagai nama Keraton yaitu Keraton Pakungwati yang sekarang bernama Keraton Kasepuhan.[1]
Di depan Keraton Kesepuhan terdapat alun-alun yang pada waktu zaman dahulu bernama Alun-alun Sangkala Buana yang merupakan tempat latihan keprajuritan yang diadakan pada hari Sabtu atau istilahnya pada waktu itu adalah Saptonan. Dan di alun-alun inilah dahulunya dilaksanakan berbagai macam hukuman terhadap setiap rakyat yang melanggar peraturan seperti hukuman cambuk. Di sebelah barat Keraton kasepuhan terdapat Masjid yang cukup megah hasil karya dari para wali yaitu Masjid Agung Sang Cipta Rasa.
Sedangkan di sebelah timur alun-alun dahulunya adalah tempat perekonomian yaitu pasar -- sekarang adalah pasar kesepuhan yang sangat terkenal dengan pocinya. Model bentuk Keraton yang menghadap utara dengan bangunan Masjid di sebelah barat dan pasar di sebelah timur dan alun-alun ditengahnya merupakan model-model Keraton pada masa itu terutama yang terletak di daerah pesisir. Bahkan sampai sekarang, model ini banyak diikuti oleh seluruh kabupaten/kota terutama di Jawa yaitu di depan gedung pemerintahan terdapat alun-alun dan di sebelah baratnya terdapat masjid.
Sebelum memasuki gerbang komplek Keraton Kasepuhan terdapat dua buah pendopo, di sebelah barat disebut Pancaratna yang dahulunya merupakan tempat berkumpulnya para punggawa Keraton, lurah atau pada zaman sekarang disebut pamong praja. Sedangkan pendopo sebelah timur disebut Pancaniti yang merupakan tempat para perwira keraton ketika diadakannya latihan keprajuritan di alun-alun.
Memasuki jalan kompleks Keraton di sebelah kiri terdapat bangunan yang cukup tinggi dengan tembok bata kokoh disekelilingnya. Bangunan ini bernama Siti Inggil atau dalam bahasa Cirebon sehari-harinya adalah lemah duwur yaitu tanah yang tinggi. Sesuai dengan namanya bangunan ini memang tinggi dan nampak seperti kompleks candi pada zaman Majapahit. Bangunan ini didirikan pada tahun 1529, pada masa pemerintahan Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).
Di pelataran depan Siti Inggil terdapat meja batu berbentuk segi empat tempat bersantai. Bangunan ini merupakan bangunan tambahan yang dibuat pada tahun 1800-an. Siti Inggil memiliki dua gapura dengan motif bentar bergaya arsitek zaman Majapahit. Di sebelah utara bernama Gapura Adi sedangkan di sebelah selatan bernama Gapura Banteng. Dibawah Gapura Banteng ini terdapat Candra Sakala dengan tulisan Kuta Bata Tinata Banteng yang jika diartikan adalah tahun 1451.
saka yang merupakan tahun pembuatannya (1451 saka = 1529 M). Tembok bagian utara komplek Siti Inggil masih asli sedangkan sebelah selatan sudah pernah mengalami pemugaran/renovasi. Di dinding tembok kompleks Siti Inggil terdapat piring-piring dan porslen-porslen yang berasal dari Eropa dan negeri Cina dengan tahun pembuatan 1745 M. Di dalam kompleks Siti Inggil terdapat 5 bangunan tanpa dinding yang memiliki nama dan fungsi tersendiri. Bangunan utama yang terletak di tengah bernama Malang Semirang dengan jumlah tiang utama 6 buah yang melambangkan rukun iman dan jika dijumlahkan keseluruhan tiangnya berjumlah 20 buah yang melambangkan 20 sifat-sifat Allah SWT. Bangunan ini merupakan tempat sultan melihat latihan keprajuritan atau melihat pelaksanaan hukuman. Bangunan di sebelah kiri bangunan utama bernama Pendawa Lima dengan jumlah tiang penyangga 5 buah yang melambangkan rukun islam. Bangunan ini tempat para pengawal pribadi sultan.Bangunan di sebelah kanan bangunan utama bernama Semar Tinandu dengan 2 buah tiang yang melambangkan Dua Kalimat Syahadat. Bangunan ini adalah tempat penasehat Sultan/Penghulu. Di belakang bangunan utama bernama Mande Pangiring yang merupakan tempat para pengiring Sultan, sedangkan bangunan disebelah mande pangiring adalah Mande Karasemen, tempat ini merupakan tempat pengiring tetabuhan/gamelan. Di bangunan inilah sampai sekarang masih digunakan untuk membunyikan Gamelan Sekaten (Gong Sekati), gamelan ini hanya dibunyikan 2 kali dalam setahun yaitu pada saat Idul Fitri dan Idul Adha. Selain 5 bangunan tanpa dinding terdapat juga semacam tugu batu yang bernama Lingga Yoni yang merupakan lambing dari kesuburan. Lingga berarti laki-laki dan Yoni berarti perempuan. Bangunan ini berasal dari budaya Hindu. Dan di atas tembok sekeliling kompleks Siti Inggil ini terdapat Candi Laras untuk penyelaras dari kompleks Siti Inggil ini.by caruban nagari
Keraton Kanoman berada di Jl. Winaon, Kampung Kanoman, Kelurahan Lemah Wungkuk, Kecamatan Lemah Wungkuk. Keraton yang berada pada pedataran pantai ini tepat pada koordinat 06º 43' 15,8" Lintang Selatan dan 108º 34' 12,4" Bujur Timur. Di sebelah utara keraton terdapat pasar tradisional, sedangkan di sebelah selatan dan timur merupakan pemukiman penduduk. Di sebelah barat keraton terdapat sekolah Taman Siswa. - See more at: http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/dest-det.php?id=217&lang=id#sthash.nUxvwyVf.dpuf
Keraton Kanoman berada di Jl. Winaon, Kampung Kanoman, Kelurahan Lemah Wungkuk, Kecamatan Lemah Wungkuk. Keraton yang berada pada pedataran pantai ini tepat pada koordinat 06º 43' 15,8" Lintang Selatan dan 108º 34' 12,4" Bujur Timur. Di sebelah utara keraton terdapat pasar tradisional, sedangkan di sebelah selatan dan timur merupakan pemukiman penduduk. Di sebelah barat keraton terdapat sekolah Taman Siswa. - See more at: http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/dest-det.php?id=217&lang=id#sthash.nUxvwyVf.dpuf
Keraton Kanoman berada di Jl. Winaon, Kampung Kanoman, Kelurahan Lemah Wungkuk, Kecamatan Lemah Wungkuk. Keraton yang berada pada pedataran pantai ini tepat pada koordinat 06º 43' 15,8" Lintang Selatan dan 108º 34' 12,4" Bujur Timur. Di sebelah utara keraton terdapat pasar tradisional, sedangkan di sebelah selatan dan timur merupakan pemukiman penduduk. Di sebelah barat keraton terdapat sekolah Taman Siswa. - See more at: http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/dest-det.php?id=217&lang=id#sthash.nUxvwyVf.dpuf
Keraton Kanoman berada di Jl. Winaon, Kampung Kanoman, Kelurahan Lemah Wungkuk, Kecamatan Lemah Wungkuk. Keraton yang berada pada pedataran pantai ini tepat pada koordinat 06º 43' 15,8" Lintang Selatan dan 108º 34' 12,4" Bujur Timur. Di sebelah utara keraton terdapat pasar tradisional, sedangkan di sebelah selatan dan timur merupakan pemukiman penduduk. Di sebelah barat keraton terdapat sekolah Taman Siswa. - See more at: http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/dest-det.php?id=217&lang=id#sthash.nUxvwyVf.dpuf
Keraton Kanoman berada di Jl. Winaon, Kampung Kanoman, Kelurahan Lemah Wungkuk, Kecamatan Lemah Wungkuk. Keraton yang berada pada pedataran pantai ini tepat pada koordinat 06º 43' 15,8" Lintang Selatan dan 108º 34' 12,4" Bujur Timur. Di sebelah utara keraton terdapat pasar tradisional, sedangkan di sebelah selatan dan timur merupakan pemukiman penduduk. Di sebelah barat keraton terdapat sekolah Taman Siswa. - See more at: http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/dest-det.php?id=217&lang=id#sthash.nUxvwyVf.dpuf
Keraton Kanoman berada di Jl. Winaon, Kampung Kanoman, Kelurahan Lemah Wungkuk, Kecamatan Lemah Wungkuk. Keraton yang berada pada pedataran pantai ini tepat pada koordinat 06º 43' 15,8" Lintang Selatan dan 108º 34' 12,4" Bujur Timur. Di sebelah utara keraton terdapat pasar tradisional, sedangkan di sebelah selatan dan timur merupakan pemukiman penduduk. Di sebelah barat keraton terdapat sekolah Taman Siswa. - See more at: http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/dest-det.php?id=217&lang=id#sthash.nUxvwyVf.dpuf
Keraton Kanoman berada di Jl. Winaon, Kampung Kanoman, Kelurahan Lemah Wungkuk, Kecamatan Lemah Wungkuk. Keraton yang berada pada pedataran pantai ini tepat pada koordinat 06º 43' 15,8" Lintang Selatan dan 108º 34' 12,4" Bujur Timur. Di sebelah utara keraton terdapat pasar tradisional, sedangkan di sebelah selatan dan timur merupakan pemukiman penduduk. Di sebelah barat keraton terdapat sekolah Taman Siswa. - See more at: http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/dest-det.php?id=217&lang=id#sthash.nUxvwyVf.dpuf
Keraton Kanoman berada di Jl. Winaon, Kampung Kanoman, Kelurahan Lemah Wungkuk, Kecamatan Lemah Wungkuk. Keraton yang berada pada pedataran pantai ini tepat pada koordinat 06º 43' 15,8" Lintang Selatan dan 108º 34' 12,4" Bujur Timur. Di sebelah utara keraton terdapat pasar tradisional, sedangkan di sebelah selatan dan timur merupakan pemukiman penduduk. Di sebelah barat keraton terdapat sekolah Taman Siswa. - See more at: http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/dest-det.php?id=217&lang=id#sthash.nUxvwyVf.dpuf
Keraton Kanoman berada di Jl. Winaon, Kampung Kanoman, Kelurahan Lemah Wungkuk, Kecamatan Lemah Wungkuk. Keraton yang berada pada pedataran pantai ini tepat pada koordinat 06º 43' 15,8" Lintang Selatan dan 108º 34' 12,4" Bujur Timur. Di sebelah utara keraton terdapat pasar tradisional, sedangkan di sebelah selatan dan timur merupakan pemukiman penduduk. Di sebelah barat keraton terdapat sekolah Taman Siswa. - See more at: http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/dest-det.php?id=217&lang=id#sthash.nUxvwyVf.dpuf
Keraton Kanoman berada di Jl. Winaon, Kampung Kanoman, Kelurahan Lemah Wungkuk, Kecamatan Lemah Wungkuk. Keraton yang berada pada pedataran pantai ini tepat pada koordinat 06º 43' 15,8" Lintang Selatan dan 108º 34' 12,4" Bujur Timur. Di sebelah utara keraton terdapat pasar tradisional, sedangkan di sebelah selatan dan timur merupakan pemukiman penduduk. Di sebelah barat keraton terdapat sekolah Taman Siswa. - See more at: http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/dest-det.php?id=217&lang=id#sthash.nUxvwyVf.dpuf

Sebuah cerita menarik dapat Anda ikuti sambil menikmati nasi khas Kota Cirebon. Sega Jamblang adalah makanan khas Cirebon yang pada awalnya diperuntukan bagi para pekerja paksa pada jaman Belanda yang sedang membangun jalan raya Daendels dari Anyer ke Panarukan dengan melewati wilayah Kabupaten Cirebon, tepatnya di Desa Kasugengan. Ciri khas makanan ini adalah penggunaan daun Jati sebagai bungkus nasi, mengingat apabila dibungkus dengan daun pisang kurang tahan lama sedangkan jika dengan daun jati bisa tahan lama dan tetap terasa pulen. Hal ini karena daun jati memiliki pori-pori yang membantu nasi tetap terjaga kualitasnya meskipun disimpan dalam waktu yang lama. Uniknya, akan lebih nikmat dimakan secara tradisional dengan 'sendok jari' dan alas nasi beserta lauk pauknya tetap menggunakan daun jati.
Di sini Anda dapat memilih dari serangkaian pilihan yang menggugah selera Anda. Menu yang tersedia antara lain sambal goreng (yang agak manis), tahu sayur, paru-paru  (pusu), semur hati atau daging, perkedel, sate kentang, telur dadar/telur goreng, telur masak sambal goreng, semur ikan, ikan asin, tahu  dan tempe serta  tidak ketinggalan 'blakutak', sejenis cumi-cumi yang dimasak bersama tintanya.
- See more at: http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/dest-det.php?id=296&lang=id#sthash.Nnn2JsZm.dpuf
sdasad
 sdaasdassaKeraton Kanoman berada di Jl. Winaon, Kampung Kanoman, Kelurahan Lemah Wungkuk, Kecamatan Lemah Wungkuk. Keraton yang berada pada pedataran pantai ini tepat pada koordinat 06º 43' 15,8" Lintang Selatan dan 108º 34' 12,4" Bujur Timur. Di sebelah utara keraton terdapat pasar tradisional, sedangkan di sebelah selatan dan timur merupakan pemukiman penduduk. Di sebelah barat keraton terdapat sekolah Taman Siswa. - See more at: http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/dest-det.php?id=217&lang=id#sthash.nUxvwyVf.dpuf

Singa Barong



Singa Barong adalah nama kereta pusaka di Kraton Kasepuhan Cirebon, berbentuk barong, sejenis binatang mitologis atau ajaib. Keajaiban wujudnya itu bisa dilihat dari adanya pelbagai unsur, yang merupakan penggabungan antara singa atau macan (tubuh, kaki, mata), gajah (berbelalai), garuda (bersayap), dan naga (mulut yang menyeringai dengan lidah menjulur). Istilah barong itu sendiri, yang banyak terdapat dalam kesenian di pulau Jawa dan Bali, memiliki makna “ajaib”, yaitu seekor binatang bukan yang nyata ditemukan dalam realita kehidupan. Dalam hal Singa Barong, pengambilan keempat jenis binatang itu mungkin terutama berdasar pada makna kekuatan atau keperkasaannya. Hal itu dipertegas dengan belalai yang melingkar ke atas keningnya itu “memegang” senjata trisula (tiga mata-tombak, terdapat di kedua ujung depan dan belakang), yang menambah ekspresi atas kekuatan dan keangkerannya. Di samping itu, mungkin pula wujud binatang-binatang yang tergabung dalam Singa Barong ini bukan saja karena kekuatan fisiknya, melainkan juga karena simbol-simbol yang bersifat spirititual. Sebagian tokoh di Kraton Kasepuhan, memaknai garuda yang bersayap seperti burak sebagai lambang agama Islam (atau budaya Timur-Tengah), gajah adalah lambang Budha (atau budaya India, Asia Timur dan Asia Tenggara), dan naga adalah lambang Hindu (atau budaya Cina), dan singa adalah lambang Protestan (atau budaya Eropa Barat). Tapi, ada pula budayawan yang memaknainya secara lain, atau komplementer dari pendekatan alam: angin (sayap), api (singa), bumi (gajah), dan air (naga). Lepas dari benar-tidaknya masing-masing perlambangan tersebut, tapi semuanya memberi makna bahwa kekuatan itu, pertama, terletak pada aspek fisik dan jiwa (roh, spirit). Kedua, demi memaksimalkan peralihan kekuatan itu adalah dengan suatu prinsip “penggabungan” (atau “gotong-royong” secara sosial), yang dapat diraih dengan prinsip penerimaan, pengambilan, dan atau penyesuaian dari hal-hal yang berbeda sekalipun—yang dalam kasus Singa Barong adalah singa, garuda, naga, dan gajah di satu sisi, serta Islam, Hindu, Budha, dan Kristen di sisi lainnya. Penyatuan kekuatan-kekuatan dari beberapa binatang raksasa, yang melambangkan keperkasaan atau keagungan raja, terdapat di banyak tempat—selain kereta itu sendiri merupakan properti yang melambangkan kebesaran. Kraton Kanoman memiliki kereta serupa dengan nama Paksi-Naga-Liman—yang kemudian diadopsi juga oleh kerajaan Sumedang Larang di Pasundan, yang serupa tapi tak sama, tubuhnya bukan singa melainkan naga. Demikian juga Kerajaan Kutai memiliki lambang serupa yang disebut Lembu Swana, kepalanya sama mirip naga-gajah, bersayap, dan bertubuh seperti lembu. Dalam wayang kulit Cirebon, banyak tokoh yang memiliki belalai dengan trisula seperti Singa Barong itu, baik untuk karakter putri, satria, ponggawa, maupun raksasa, yang dalam lakon setempat adalah para senapati dan prajurit Alas Amer, sebuah negara-rimba yang di-babad oleh Pandawa dalam suatu episode Mahabarata. Lambang tersebut di atas bukan hanya terdapat di Indonesia, akan tetapi juga di Myanmar (Birma), misalnya, serupa dengan “paksi-naga-liman” yang di antaranya dipakai sebagai hiasan rak gendang-besar (mirip rancak gong di Jawa-Bali). Asal-muasalnya Singa Barong, konon menurut suatu sumber, lahir dari mimpi seorang pangeran di Kraton Cirebon, pada abad 17, yang dalam mimpinya itu ia melihat seekor binatang terbang di angkasa dengan badan singa, muka naga dan berbelalai. Impian itu kemudian diwujudkan dalam bentuk kereta dan selesai dibuat pada tahun Saka 1571, atau tahun Masehi 1649. Konstruksi Kereta Singa Barong jelas tampak memakai teknologi modern Barat (pada masanya): roda, as, mur-baud, dan sebagian kerangka dari besi. Tapi, bentuk arsitekturalnya sangatlah khas lokal. Ukiran-ukiran yang rumit dibuat sangat halus, dengan motif-motif Cirebonan, seperti pola-pola relung bunga dan wadasan (batu cadas) yang fraktal (tidak geometris). Teknik suspensinya bukan menggunakan sistem per (pegas) melainkan dari kulit, sedemikian rupa sehingga tubuh Singa Barong itu seperti digendong dengan 4 sabuk-kulit raksasa. Sabuk yang menggendong itu memiliki sudut kemiringan yang berdasar pada perhitungan fisika canggih, sehingga ketika kereta berjalan, getaran dan goyangannya akan sangat minimum, sementara keseimbangan akan tetap terjaga. Kereta Singa Barong, menurut cerita itu, awalnya ditarik oleh dua pasang kerbau, bukan oleh kuda seperti pada umumnya kereta. Entah bagaimana secara persis memfungsikannya, tapi dengan tarikan kerbau menunjukkan bahwa kereta ini bukan sebagai kendaran angkutan yang cepat, melainkan yang kuat atau kokoh. Ia bukan untuk menempuh jarak jauh, melainkan mungkin hanya untuk pencapaian tempat-tempat penting dalam radius belasan atau 20-an km saja dari istana. Dengan berjalan lambat, keagungan raja (Sultan) yang mengendarainya lebih bisa disaksikan oleh rakyatnya. Kini, tentu saja, kereta ini tidak lagi dipakai sebagai kendaraan Sultan, tapi terus tersimpan dengan baik sebagai pusaka di ruangan khusus, di museum dalam tembok Kraton Kasepuhan. Pada tahun awal 1990-an, menjelang diselenggarakannya Festival Kraton Nusantara di Cirebon, dibuatkan duplikatnya—bersamaan dengan pembuatan duplikat kereta-kereta kraton lainnya: Paksi Naga Liman dari Kraton Kanoman, dan pembuatan Pedati Gede Pekalangan yang merupakan rekonstruksi, karena kereta tertua ini telah musnah, pembuatannya berdasar pada naskah-naskah sejarah. Duplikat Pedati Gede Pekalangan kini disimpan di Kraton Kacirebonan. Pada acara kirab (pawai) Festival Kraton Nusantara akhir 26 September 2004 di Yogyakarta, duplikat kereta Singa Barong ini turut pawai dengan ditarik sepasang kerbau, bukan dengan oleh dua pasang seperti yang diceritakan dalam sejarahnya. Dalam acara pembukaan Pesta Topeng Nusantara di Cirebon 16 Oktober 2010, duplikat kereta Singa Barong ini pun dipamerkan, “diarak” dari Kraton Kasepuhan hingga halaman Balai Kota, bersamaan dengan duplikat kereta-kereta kraton lainnya, termasuk Paksi Naga Liman, Pedati Gede Pekalangan, dan Kereta Jempana, tapi semuanya hanya ditarik dan didorong oleh belasan pemuda, bukan dengan kerbau, sapi, ataupun kuda. Di semua penampilan publik, kereta Singa Barong mendapat perhatian yang khusus, karena wujudnya yang sangat khusus pula. Ia, seperti juga Paksi-Naga-Liman Kanoman, seolah telah jadi ikon budaya Cirebon. Dalam ukiran kayu, lukisan kaca, dan motif batik, Singa Barong banyak muncul. Demikian juga pada acara pawai kampung, seperti arak-arakan untuk sidekah bumi, khitanan dan pernikahan, Singa Barong biasa dibuat, dengan cara dan fungsinya yang berbeda-beda. Para peneliti Belanda pun sejak jaman kolonial telah menaruh perhatian yang besar padanya. Beberapa uraian dan foto-foto bisa ditemukan di pelbagai sumber. Kini, di museum Kraton Kasepuhan Cirebon, kedua kereta yang asli dan duplikat disimpan berdampingan. Hanya dengan melihatnya secara dekat kita bisa melihat dan membandingkannya secara teliti. Perbedaan dari keduanya terletak pada dua hal: secara fisik dan jiwa, yang tampak dan yang tak tampak. Walau bentuk keduanya sangat mirip, sulit dibedakan karena yang baru pun tampak tua, dan keduanya biasa diberi sesaji, tapi bagi masyarakat yang mempercayai kekuatan kepusakaannya, lebih menaruh penghormatan pada yang asli. - See more at: http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/dest-det.php?id=890&lang=id#sthash.izpeaWIk.dpuf

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More